SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sejarah Perkembangan Hadits
Sejarah perkembangan hadis merupakan
masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh
dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.[1] Dengan
memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahirnya di
zaman Nabi SAW meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang memengaruhi
hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadis dalam beberapa
periode. Adapun para`ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi
periode sejarah hadis. Ada yan membagi dalam tiga periode, lima periode, dan
tujuh periode.[2]
M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi
perkembangan hadis menjadi tujuh periode,[3] sejak periode Nabi SAW
hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.
1.
Periode Pertama: Perkembangan Nadis pada Masa Rasulutlah SAW.
Periode ini disebut `Ashr
Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat
Islam).[4] Pada
periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir
Nabi yang berfungsi menerangkan AI-Quran untuk menegakkan syariat Islam dan
membentuk masyarakat Islam.
Para sahabat menerima hadis secara
langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW.
mennheri ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para
sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat
yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke
daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabiy
Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca
tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali.
Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan
untuk menghapal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadis dalam
amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.
2.
Periode Kedua: Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa' Ar-Rasyidin (11 H-40 H)
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut
wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat).
Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua
pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah
yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.[5]
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan
Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih
terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang
para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis,dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat
mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran.[6] Dalam praktiknya, ada dua
sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni:
1.
Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang
mereka hapal benar lafazh dari Nabi.
2.
Dengan maknanya saja; yakni mereka merivttayatkan maknanya karena tidak hapal
lafazh asli dari Nabi SAW.[7]
3.
Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
Periode ini disebut ‘Ashr
Intisyar al-Riwayah ila Al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya
periwayatan hadis).[8] Pada
masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir,
Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan
dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam
rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.
Para sahabat kecil dan tabiin yang
ingin mengetahui hadis-hadis Nabi SAW diharuskan berangkat ke seluruh pelosok
wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar
yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikiari, pada masa ini, di
samping tersebarnya periwayatan hadis ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab,
perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi ramai.
Karena meningkatnya periwayatan
hadis, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan)
hadis di berbagai daerah di seluruh negeri.
Adapun lembaga-lembaga hadis yang
menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan,dan pengembangan hadis terdapat di:
1.
Madinah,
2.
Mekah,
3.
Bashrah,
4.
Syam,
5.
Mesir,
Pada periode ketiga ini mulai muncul
usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi
setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah
menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib, yang
kemudian dinamakan golongan Syi'ah. Kedua, golongan khawarij, yang
menentang ‘Ali, dan golongan Mu'awiyah, dan ketiga; golongan jumhur
(golongan pemerintah pada masa itu).
Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu
orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan
keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk mendukung
golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat.
4.
Periode Keempat: Perkembangan Hadis pada Abad II dan III Hijriah
Periode ini disebut Ashr
Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya,
penulisandan pembukuan secara resmi,
yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau
secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada
masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.[9]
Masa pembukuan secara resmi dimulai
pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis
tahun 101 H,[10]
Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis
dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak
membukukandan mengumpulkan dalam buku-buku
hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap
dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam
barzakh.
Untuk mewujudkan maksud tersebut,
pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn
Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma'mar- Al-Laits,
Al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan hadis Rasul
yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir
Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn `Ades, seorang ahli fiqh, murid `Aisyah r.a.
(20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadis-hadis yang ada pada
Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka
tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh.[11]
Di samping itu, Umar mengirimkan
surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan
hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di
antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr
Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang
ahli dalam urusan fiqh dan hadits.[12] Mereka inilah ulama yang
mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.
Pembukuan seluruh hadits yang ada di
Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang
memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadits pada
masanya.
Setelah itu, para ulama besar
berlomba-lomba membukulcan hadits atas anjuran Abu `Abbas As-Saffah dan
anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.
Berikut
tempat dan nama-nama tokoh dalam pengumpulan hadits :
1.
Pengumpul pertama di kota Mekah,
Ibnu Juraij (80-150 H)
2.
Pengumpul pertama di kota Madinah,
Ibnu Ishaq (w. 150 H)
3.
Pengumpul pertama di kota Bashrah,
Al-Rabi' Ibrl Shabih (w. 160 H)
4.
Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan
Ats-Tsaury (w. 161 H.)
5.
Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i
(w. 95 H)
6.
Pengumpul pertama di Wasith, Husyain
Al-Wasithy (104-188 H)
7.
Pengumpul pertama diYaman, Ma'mar
al-Azdy (95-153 H)
8.
Pengumpul pertama di Rei, Jarir
Adh-Dhabby (110-188 H)
9.
Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn
Mubarak (11 -181 H)
10.
Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits
Ibn Sa'ad (w. 175 H).[13]
Semua ulama yang membukukan hadis
ini terdiri dari ahli-ahli pada abad kedua Hijriah.
Kitab-kitab hadis yang telah
dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan
tetapi, yang rnasyhur di kalangan ahli hadis adalah:
1.
Al-Muwaththa', susurran
Imam Malik (95 H-179 H);
2.
Al-Maghazi wal Siyar, susunan
Muhammad ibn Ishaq (150 H)
3.
Al-jami', susunan
Abdul Razzaq As-San'any (211 H)
4.
Al-Mushannaf, susunan
Sy'bah Ibn Hajjaj (160 H)
5.
Al-Mushannaf, susunan
Sufyan ibn 'Uyainah (198 H)
6.
Al-Mushannaf, susunan
Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H)
7.
Al-Mushannaf, susnan
Al-Auza'i (150 H)
8.
Al-Mushannaf, susunan
Al-Humaidy (219 H)
9.
Al-Maghazin Nabawiyah, susunan
Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy.
10.
A1-Musnad, susunan
Abu Hanifah (150 H).
11.
Al-Musnad, susunan
Zaid Ibn Ali.
12.
Al-Musnad, susunan
Al-Imam Asy-Syafi'i (204 H).
13.
Mukhtalif Al-Hadis, susunan
Al-Imam Asy-Syafi'i.[14]
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad
kedua hijriah adalah Malik,Yahya ibn Sa'id AI-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah,
Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn
Mahdi, Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.[15]
5.
Feriode Kelima: Masa Men-tasbih-kan Hadis dan Penyusuran Kaidah-Kaidahnya
Abad ketiga Hijriah merupakan puncak
usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa'
-Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal
hadis, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli
ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri
lain untuk mencari hadis.[16]
Pada awalnya, ulama hanya
mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian
kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan
hadis.
Keadaan ini diubah oleh AI-Bukhari.
Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari
hadis. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah,
Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, `Asqalani,dan Himsh.
Imam Bukhari membuat terebosan
dengan mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya
Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.
Para ulama pada mulanya menerima hadits
dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat
menerimanya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya
pemalsuan hadis dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk rpengacaukan
hadis, para ulama pun melakukan hal-hal berikut.
a.
Membahas keadaan rawi-rawi dari
berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
b.
Memisahkan hadis-hadis yang sahih
dari hadis yang dha'if yakni dengan men-tashih-kan
U1ama hadits yang mula-mula
menyaringdan membedakan hadits-hadits
yang sahih dari yang palsu dan yang
lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih, seorang imam hadis yang sangat termasyhur.
Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan
dengan sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya
yang terkenal dengan nama Al-jamius Shahil. Di dalam kitabnya, ia hanya
membukukan hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian, usaha A1-Bukhari ini
diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang
mengikuti jejak Bukhari dan Muslim, di
antaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi,dan
An-Nasa'i. Mereka menyusun kitab-kitab hadis yang dikenal dengan Shahih
Al-Bukhari, Shahih Muslirn, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi,dan Sunan An-Nasa'i. Kitab-kitab itu kemudian
dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.
Di samping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya.
Kitab Sunan ini kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam
kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab induk itu menjadi sebuah, yang kemudian
dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah.
Tokoh-tokoh hadis yang lahir dalam
masa ini adalah:
1.
`Ali Ibnul Madany
2.
Abu Hatim Ar-Razy
3.
Muhammad Ibn Jarir Ath- Thabari
4.
Muhammad Ibn Sa'ad
5.
Ishaq Ibnu Rahawaih
6.
Ahmad.
7.
Al-Bukhari
8.
Muslim
9.
An-Nasa'i
10.
Abu Dawud
11.
At-Tirmidzi
12.
Ibnu Majah
13.
Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri.[17]
6.
Periode Keenam: Dari Abad IV hingga Tahun 656 H.
Periode keenam ini dimulai dari abad
IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa `Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini
dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-jami'.[18]
Ulama-ulama hadis yang muncul pada
abad ke-2 dan ke-3, digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadis
dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiridan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para
penghapalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi,
dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu,
bangkitlah pujangga abad keempat. Para ulama abad keempat ini dan seterusnya
digelari `Mutaakhirin'. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah
petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang
dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.
Pada periode ini muncul kitab-kitab
sahih yang tidak terdapat dalam kitab sahih pada abad ketiga. Kitab-kitab itu
antara lain:
1.
Ash-Shahih, susunan
Ibnu Khuzaimah
2.
At-Taqsim wa Anwa', susunan
Ibnu Hibban
3.
Al-Mustadrak, susunan
Al-Hakim
4.
Ash-Shalih, susunan
Abu `Awanah
5.
Al-Muntaqa, susunan
Ibnu Jarud
6.
Al-Mukhtarah, susunan
Muhammad Ibn Abdul Wahid Al-Maqdisy.[19]
Di antara usaha-usaha ulama hadis
yang terpenting dalam periode ini adalah:
1.
Mengumpulkan Hadis Al-Bukhari/Muslim
dalam sebuah kitab. Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis Al-Bukhari
dan Muslim adalah Kitab Al Fami' Bain Ash-Shahihani oleh Ismail Ibn
Ahmad yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Furat (414 H), Muhammad Ibn Nashr
Al-Humaidy (488 H); Al-Baghawi oleh Muhammad Ibn Abdul Haq Al-Asybily
(582 H).
2.
Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab
enam.
Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis kitab enam, adalah Tajridu
As-Shihah oleh Razin Mu'awiyah, Al-Fami' oleh Abdul Haqq Ibn Abdul
Ar-Rahman Asy-Asybily, yang terkenal dengan nama Ibnul Kharrat (582 H).
3.
Mengumpukan hadis-hadis yang
terdapat dalam berbagai kitab.
Di antara kitab-kitab yang mengumpulkan hadis-hadis
dari berbagai kitab adalah: (1) Mashabih As-Sunnah oleh Al-Imam Husain
Ibn Mas'ud Al-Baghawi (516 H); (2) Yami'ul Masanid wal Alqab, oleh Abdur
Rahman ibn Ali Al-Jauzy (597 H); (3) Bakrul Asanid, oleh Al-Hafidh
Al-Hasan Ibn Ahmad Al-Samarqandy (49I H).
4.
Mengumpulan hadis-hadis hukum dan
menyusun kitab-kitab ‘Atkraf.
7.
Periode Ketujuh (656 H-Sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah
meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu'tasim (w. 656 H.) sampai
sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al Jami' wa At-Takhriji wa
Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan
pembahasan.[20]
Usaha-usaha yang dilakukan oleh
ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya,
dan menyusun kitab enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab fami'
yang umum':
Pada .periode ini disusun
Kitab-kitab Zawa'id, yaitu usaha mengumpulkan hadis yang terdapat dalam
kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya Kitab
Zawa'id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa'id As-Sunan Al-Kubra
disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab zawa'id yang lain.
Di samping itu, para ulama hadis
pada periode ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab ke
dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Fami' Al-Masanid wa
As-Sunan Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan fami'ul fawami susunan Al-Hafidz As-Suyuthi (911
H).
Banyak kitab dalam berbagai ilmu
yang mengandung hadis-hadis yang tidak disebut perawinya dan pen-takhrij-nya.
Sebagian ulama pada masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan
hadis-hadis itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab yang tertentu, di
antaranya Takhrij Hadis TafsirAl-Kasysyaf karangan Al-Zailai'i (762), Al-Kafi
Asy-Syafi fi Tahrij Ahadits Al-Kasyasyaf oleh Ibnu Hajar Al-`Asqalani, dan
masih banyak lagi kitab takhrij lain.
Sebagaimana periode keenam, periode
ketujuh ini pun muncul ulama-ulama hadis yang menyusun kitab-kitab Athraf,
di antaranya Ithaf Al-Maharah bi Athraf Al- Asyrah oleh Ibnu Hajar
Al-`Astqalani, Athraf Al-Musnad Al-Mu'tali bi Athraf Al-Musnad Al-Hanbali oleh
Ibnu Hajar, dan masih banyak lagi kitab Athraf yang lainnya.
Tokoh-tokoh hadis yang terkenal pada
masa ini adalah: (1) Adz-Dzahaby (748 H), (2) Ibnu Sayyidinnas (734 H), (3)
Ibnu Daqiq Al-`Ied, (4) Muglathai (862 H), (5) Al-Asqalany (852 H), (6)
Ad¬Dimyaty (705 H), (7) Al-`Ainy (855 H), (8) As-Suyuthi (911 H), (9)
Az-Zarkasy (794 H), (10) Al-Mizzy (742 H), (11) Al-`Alay (761 H), (12) Ibnu
Katsir (774 H), (13) Az-Zaily (762 H), (14) Ibnu Rajab (795 H), (15) Ibnu
Mulaqqin (804 H), (16) Al-Bulqiny (805 H), (17) Al-`Iraqy (w. 806 H), (18)
Al-Haitsamy (807 H), dan (19) Abu Zurah (826 H).[21]
A. Fase Pengumpulan dan Penulisan
Hadits
1.
Pengumpulan Hadis
Pada abad pertama Hijriah, yakni
masa Rasulullah SAW., Khulafaar Rasyidin,dan
sebagian besar masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijrah,
hadis-hadis itu berpindah-pindahdan
disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu
meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Hapalan mereka terkenal
kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam
ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya
dikemukakan oleh Khalifah Umar bin Khaththab (w. 23 H/644 M). Namun, ide
tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena khawatir bila umat Islam terganggu
perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar
bin.Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama Hijriah, yakni tahun 99
Hijriah, datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits. Umar bin
Abdul Azis terkenal sebagai seorang khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal
adil dan wara' sehingga dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadits
dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau
khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan
dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis
itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Tergeraklah hatinya untuk
mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun
100 H, Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada Gubernur Madinah, Abu
Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm untuk membukukan hadis-hadis Nabi dari
para penghapal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat
kepada Abu Bakar bin Hazm, yaitu, "Perhatikanlah apa yang dapat
diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu
disebabkan menin,;galnya ulama, dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW.,
dan hercdaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya
orzng yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu
dirahasiakan."
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga
menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah
juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah
bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian, Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah
khalifah tersebut sehingga menjadi salah satu ulama yang pertama kali
membukukan hadis.
Setelah generasi Az-Zuhri, pembukuan
hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H.), Ar-Rabi' bin Shabih (w. 160 H),
dan masih banyak lagi ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa
pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi
belum begitu sempurna. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan
abad II H, dilakukan upaya penyempunaan. Sejak saat itu, tampak gerakan secara
aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuandan penulisan hadis-hadis Rasul SAW Kitab-kitab
yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang dan sampai kepada kita,
antara lain Al-Muwatha' oleh Imam Malikdan
Al-Musnad oleh Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H). Pembukuan hadis itu
kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh imam-imam ahli hadis, seperti
Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain.
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah
(kitab-kitab) enam, yaitu Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan An-Nasal,
dan At-Tirmizi. Tidak sedikit pada masa berikutnya dari para ulama yang
menaruh perhatian besar pada Kutubus Sittah tersebut beserta kitab Muwatha'
dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti
sanad dan matan-matannya.[22]
2.
Penulisan Hadis
Sebelum agama Islam datang, bangsa
Arab tidak mengenal kemampuan membaca dan menulis. Mereka lebih dikenal sebagai
bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun, ini tidak berarti
bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menulisdan membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri
kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat sejumlah orang yang mampu membaca dan
menulis. Adiy bin Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah belajar menulis hingga
menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa Arab dalam
surat yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orangYahudi juga mengajari
anak-anak di Madinah untuk menulis Arab. Kota Mekah dengan pusat perdagangannya
sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang yang mampu
membaca. Sebagaimana dinyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan menulis di
kota Mekah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksud bahwa orang Arab adalah
bangsa yang ummi.[23]
Banyak akhbar yang
menunjukkan bahwa para penulis lebih banyak terdapat di Mekah daripada di
Madinah. Hal ini dibuktikan dengan adanya izin Rasulullah kepada para tawanan
dalam Perang Badar dari Mekah yang mampu menulis untuk mengajarkan menuiis dan
membaca kepada 10 anak Madinah sebagai tebusan diri mereka.
Pada masa Nabi, tulis-menulis sudah
tersebar luas. Apalagi Al-Quran menganjurkan untuk belajardan membaca. Rasulullah pun menga-lgkat para
penulis wahyu hingga jumlahnya mencapai 40 orang. Nama-nama mereka disebut
dalam kitab At-Taratib Al-Idariyyah. Baladzuri dalam kitab Futuhul
Buldan menyebutkan sejumlah penulis wanita, di antaranya Ummul Mu'minin
Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa' binti Abdullah Al¬Qurasyiyah,
`Aisyah binti Sa'ad, dan Karimah binti AI-Miqdad.
Para penulis semakin banyak di
Madinah setelah hijrah setelah Perang Badar. Nabi menyuruh Abdullah bin Sa'id
bin ‘Ash agar mengajar menulis di Madiah, sebagaimana disebutkan Ibnu Abdil
Barr dalam Al-Isti'ab. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli `Abdullah
bin Sa'id bin Al-'Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama
`Abdullah,dan menyuruhnya agar mengajar
menulis di Madinah.[24]
Para penulis sejarah Rasul, ulama
hadis, dan umat Islam sependapat bahwa Al-Quran Al-Karim telah memperoleh
perhatian yang penuh dari Rasul dan para
sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabat untuk menghapalkan Al-Quran
dan menuliskannya di tempat-tempat
tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, batu, dan sebagainya.
Oleh karena itu, ketika Rasulullah
SAW wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Seluruh
ayat suci Al-Quran pun telah lengkap ditulis, tetapi belum terkumpul dalam
bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika
itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis
dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi karena tidak diperintahkan
oleh Rasul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis
Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadits
yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Aglayanah, Al-Makki, Metode
Pengajaran Hadits: Pada Tiga Abad Pertama, terj. Amir Hamzah Fachruddin.
Jakarta : Granada Nadia. 1995
Ahmad, Muhammad, dkk. Ulumul Hadits. Bandung:
Pustaka Setia. 2005
Al-Baghdadi, Abd. Al- Qahir. Al-Farq
baina Al-Firaq. Editor M.S. Kailani. Beirut : Dar Al-Ma’arifah. 1983
Al-Hadi, Abu Muhammad Al-Mahdi Ibn
Abd Al-Qadir. tt. Thariqu Takhriq Hadits Rasulullah ‘Alaihi Wasallam.
Darul Ikhtisam.
IsmaiI,Syuhudi. Kaidah Kesahihan sanad hadits.Jakarta:
Bulan Bintang.1995
Shiddiqiey,TM.Hasbi. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits.Semarang: Pustaka Rizki Putra.2001
Sulaiman,Hasan. Abbas, Alwi, Terjemah
lbanatul Ahkam Syarh Bulughuf Maram Jilid I.Surabaya: Mutiara iimu.1995
Zuhri, Muhammad. Hadits Nabi,
Tela'ah Historisdan Metodologi.Yogyakarta:
Tiara Wacana.2003
Endang Soetari, Ilmu
Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung; Mimbar Pustaka. 2005, hlm. 29.
M. Hasbi
Ash-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
1987. Hlm. 46.
Barmawie Umarie.
Status Hadits sebagai Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti Sjamsijah. 1965
Soetari. Op.cit.
hlm. 41-46. Lihat juga Ash-Shiddieqy. Op. Cit. 59-69. Barmawie
Umarie. Op. Cit. hlm. 17-18
Ash- Shiddieqy. Op.
cit. hlm. 62
Ibid. hlm. 47-54.
Lihat juga Ash-Shiddieqy. Op. Cit. hlm. 69-78
Ketujuh Fuqaha
Madinah adalah AI-Qasim, `Urwah Ibn Zubair, Abu Bakr Ibn Abdir Rahman, Sa'id
Ibn Musavyab, Abdillah Ibn Abdullah Ibn `Utbah Ibn Mas'ud, Kharijah Ibn Zaid
IbnTsabit, dan Sulaiman IbnYassar. LihatAsh-Shidieqy. op.cit. hlm. 79
Az-Zuhri
menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Sahel ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud Ibn
al-Rabi’, Said Ibn Musaiyab, dan Abu Umamah ibn Sahel
Ash-Shiddieqy. op.cit.
hlm. 115-116
Umarie. op.
cit. hlm. 21; Lihat Ash-Shidieqy. op. cit. hlm. 126-134
Muhammad Ahmad,
dkk. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. 2005. hlm. 29-31
Al-Qaththan. Mabahits
fi `Ulum Al-Hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
2005