Translate

Senin, 21 November 2016

Generasi Tabi’ut Tabi’in

Generasi Tabi’ut Tabi’in


1. Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (wafat 150 H)
2. Muqotil bin Hisyam
3. ‘Abdurrohman Al-uza’I bin ‘Amru (wafat 157 H)
4. Malik bin Anas bin Malik (wafat 179 H)
5. Nafi’ bin ‘Umar bin ‘Abdulloh (waft 169 H)
6. Fudhoil bin Iyadh (wafat 187 H)
7. Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 148 H)
8. Abu Bakar bin ‘Ayyash (wafat 193 H)
9. ‘Abdulloh bin Mubarok (wafat 181 H)
10. Abu Yusuf Al-Qodhi (wafat 182 H)
12. Syu’bah bin Hajjaj (wafat 160 H)
13. ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdulloh bin Abi Salamah Al-Majishun (wafat 164 H)
14. Laits bin Sa’ad bin ‘Abdurrohman (wafat 175 H)
15. ‘Abdulloh bin Luhai’ah bin ‘Uqbah Al-Mishri (wafat 174 H)
16. ‘Ubaidulloh bin ‘Amru bin Abil Walid Al-Asadi (wafat 180 H)
17. Hammad bin Salamah bin Dinar Al-Bashri (wafat 167 H)
18. Zaidah bin Qudamah Ats-Tsaqofi (wafat 161 H)
19. Hasan bin Sholih bin Hayyi Al-Hamdani (wafat 169 H)

Pengikut Ulama’

1. Imam Abu Hanifah (lahir 80 H dan wafat 150 H)
2. Imam Malik (lahir 93 H dan wafat 179 H)
3. Imam Syafi’i (lahir 150 H dan wafat 204 H)
4. Imam Ahmad bin Hanbal (lahir 164 H dan wafat 241 H)
5. Imam Bukhori (lahir 194H dan wafat 256 H)
6. Imam Muslim (lahir 204 H dan wafat 261 H)
7. Imam Tirmidzi (lahir 210 H dan wafat 279 H)
8. Imam Ibnu Majah (lahir 209 H dan wafat 273 H)
9. Imam Hakim (lahir 321 H dan wafat 405 H)
10. Ibnul Jauzi (lahir 510 H dan wafat 567 H)
11. Ibnu Qudamah (lahir 541 H dan wafat 620 H)
12. An-Nawawi (lahir 607 H dan wafat 677 H)
13. Ibnul Daqiqil ‘Id (lahir 625 H dan wafat 702 H)
14. Ibnul Taimiyyah (lahir 661 H dan wafat 728 H)
15. Ibnul Qoyyim (lahir 691 H dan wafat 751 H)
16. Al-Mizzi (lahir 654 H dan wafat 742 H)
17. Adz-Dzahabi (lahir 673 H dan wafat 748 H)
18. Ibnu Katsir (lahir 700 H dan wafat 774 H)
19. Ibnu Rojab (lahir 736 H dan wafat 775 H)
20. As-Syirozi (lahir 725 H dan wafat 806 H)
21. Al-Haitsami (lahir 735 H dan wafat 807 H)
22. Ibnu Jazri (lahir 775 H dan wafat 832 H)
23. Ibnu Hajar Al-Asqolani (lahir 773 H dan wafat 852 H)
Generasi Tabi'ut Tabi'in

Generasi Tabi’in

Generasi Tabi’in
Selamat datang dan bergabung
Kibaru Tabi’in

1. Al-Qomah bin Qois bin ‘Abdulloh bin Malik (wafat 61 H)
2. Masruq bin Ajda’ Al-Hamdani (wafat 62 H)
3. ‘Ubaidah bin ‘Amru (wafat 72 H)
4. Aslam maula ‘Umar bin Khoththob (wafat 80 H)
5. Ummu Darda’ (wafat 80-an H)
6. Sa’id bin Musayyib (wafat 94 H)
7. ‘Urwah bin Zubair (wafat 91 H)
8. Abu Salamah bin ‘Abdurrohman bin ‘Auf (wafat 94 H)
9. Abu Bakar Al-Mahzumi (wafat 93 H)
10. Muthorrif bin ‘Abdillah (wafat 95 H)
11. Malik bin Aus (wafat 92 H)
12. Al-Aswad bin Yazid bin Qois An-Nakhoi (wafat 74 H)
13. Syuroih bin Hani’ bin Yazid (wafat 78 H)
14. Abu Idris Al-Khoulani (wafat 80 H)
15. ‘Abdurrohman bin Abi Laila (wafat 83 H)
16. Abul ‘Aliyah Rufa’I bin Mihron (wafat 92 H)
17. ‘Amru bin Maimun (wafat 74 H)
18. Abu ‘Utsman An-Nahdi (wafat 95 H)
19. Abu Roja’ Al-‘Uthoridi (wafat 106 H)
20. Zaid bin Wahab Al-Juhani (wafat 96 H)
21. ‘Abdulloh bin Muhairiz (wafat 99 H)

Al-Wustho Minat-Tabi’in

1. Ibrohim At-Taimi (wafat 92 H)
2. Ibrohim An-Nakhoi (wafat 96 H)
3. ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Tholib (wafat 42 H)
4. Sa’id bin Jubair (wafat 92 H)
5. Muhammad bin Sirin (wafat 110 H)
6. Asy-Sya’bi ‘Amir bin Syurohil (wafat 103 H)
7. Salim bin ‘Abdulloh bin ‘Umar bin Khoththob (wafat 106 H)
8. Thowus bin Kaisan (wafat 101 H)
9. ‘Atho’ bin Yasar Al-Hilali (wafat 103 H)
10. Mujahid bin Jabar (wafat 100 H)
11. ‘Ikrimah maula ibnu ‘Abbas (wafat 104 H)
12. Qosim bin Muhammad bin Abi Bakar (wafat 106 H)
13. ‘Atho’ bin Abi Robah (wafat 114 H)
14. Nafi’ maula Ibnu ‘mar (wafat 117 H)
15.Wahab bin Munabbih (wafat 116 H)
16. Zaid bin Aslam (wafat 136 H)
17. Hasan bin Abil Hasan Yasar Al-Bashri (wafat 110 H)
18. Jabir bin Zaid Abu Sya’tsa’ Al-‘Azdi (wafat 73 H)
19. Abul Khoir Martsad bin ‘Abdulloh (wafat 90 H)
20. ‘Ubaidulloh bin ‘Abdulloh bin ‘Utbah (wafat 94 H)
21. Maimun bin Mihron (wafat 116)

Shighorut-Tabi’in

1. Makhul Ad-Dimasyqi (wafat 112 H)
2. Az-Zuhri (wafat 124 H)
3. ‘Amru bin Dinar (wafat 125 H)
4. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (wafat 101 H)
5. Qotadah bin Da’amah (wafat 120 H)
6. Hamad bin Abi Sulaiman (wafat 120 H)
7. Yahya bin Sa’id bin Abi Sa’id (wafat 143 H)
8. Hisyam bin ‘Urwah bin Zubair bin ‘Awwam (wafat 145 H)
9. Sholih bin Kaisan (wafat 140 H)
10. Dhohak bin Muzahir (wafat 105 H)
11. Roja’ bin Haiwah (wafat 112 H)
12. ‘Abdulloh bin Dinar (wafat 127 H)
13. Zaid bin Aslam (wafat 136 H)
14. Abu Hazim Salamah bin Dinar (waft 140-an H)
15. Shofwan bin Sulaim Al-Madani (wafat 124 H)
16. ‘Abdul Karim bin Malik Al-Jazri (wafat 127 H)
17. ‘Atho’ bin Abi Muslim Al-Khurosani (wafat 135 H)
18. Sulaiman bin Bilal At-Taimi (wafat 172 H)
19. Sulaiman bin Mihron (wafat 148 H)


Generasi Sahabat

Generasi Sahabat
10 Orang Sahabat yang Dijamin Masuk Surga

1. Abu Bakar Ash-Shiddiq (wafat 13 H)
2. ’Umar bin Khoththob (wafat 23 H)
3. ’Utsman bin ‘Affan (wafat 34 H)
4. ‘Ali bin Abi Tholib (wafat 40 H)
5. Tholhah bin ‘Ubaidillah (wafat 36 H)
6. Zubair bin ‘Awwam (wafat 36 H)
7. ’Abdurohman bin ‘Auf (wafat 36 H)
8. Sa’ed bin Abi Waqqosh (wafat 55 H)
9. Sa’ed bin Zaid (wafat 55 H)
10. Abu ‘Ubaidah ibnul Jarroh (wafat 18 H)
Di antara Sahabat yang Ikut Perang Badar

1. Hamzah bin ‘Abdul Muththolib (wafat 3 H saat perang Uhud)
2. Zaid bin Haritsah (wafat 6 H)
3. Salim Maula Abi Hudzaifah (wafat 106 H)
4. ‘Abdulloh bin Jahsy (wafat 3 H saat perang Uhud)
5. Mush’ab bin ‘Umair (wafat 3 H saat perang Uhud)
6. ‘Uthbah bin Ghozwan (wafat 2 H saat perang Badar)
7. ‘Abdulloh bin Mas’ud (wafat 32 H)
8. Miqdad bin ‘Amr (wafat 33 H)
9. Khobab bin Arott (wafat 38)
10. Shuhaib bin Sinan (wafat 38)
11. ‘Amir bin Fuhairoh (wafat 4 H saat peristiwa Bi’ru Ma’unah)
12. Bilal bin Robah (wafat 20 H)
13. Abu Salamah (wafat 3 H)
14. Al-Arqom bin Abil Arqom (wafat 13 H)
15. ‘Amar bin Yasir (wafat 37 H saat perang Hunain)
16. Zaid bin Khothob (wafat saat perang Yamamah)
17. ‘Amir bin Robi’ah (wafat 35 H)
18. ‘Utsman bin Madh’un (wafat sekitar 3 bulan dari Hijroh)
19. ‘Abdulloh bin Suhail bin ‘Amru (wafat saat perang Yamamah)
20. Sa’ad bin Mu’adz (wafat 5 H)
21. Ubay bin Ka’ab (wafat 32 H)
22. Abu Tholhah (wafat 34 H)
23. ‘Abdulloh bin Rowahah (wafat 8 H saat peristiwa Bi’ru Ma’unah)
24. Mu’adz bin Jabbal (wafat 20 H)
25. Usaid bin Khudhoir (wafat 20 H)
26. Sa’ad bin ‘Ubadah (wafat 15 H)
27. Al-Baro’ bin Ma’rur (wafat sebelum Rosul datang di Madinah)

Di antara Sahabat dari Kaum Muhajirin dan Anshor

1. Al-Abbas bin ‘Abdul Muththolib (lahir 3 tahun sebelum Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, dan wafat Jum’at 14 Rojab 32 H) 
2. Ja’far bin Abi Tholib (lahir 10 tahun sebelum ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu, dan wafat 8 H saat perang Mut’ah)
3. Abu Sufyan bin Al-Harits (wafat 20 H)
4. Usamah bin Zaid bin Haritsah (wafatnya akhir masa kekhilafahan/keamiran Mu’awiyah) (41-132 H)                               Bani Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafa ar-Rasyidin yang memerintah dari 661-M sampai 750-M di Jazirah Arab dan sekitarnya, serta dari 756-M sampai 1031-M di Cordova, Spanyol. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin ‘Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Mu’awiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Mu’awiyah. Ia adalah pendiri dan Khalifah pertama Dinasti ini. Terbentuknya Dinasti ini dan Muawiyah memangku jabatan khalifah secara resmi, menurut ahli sejarah, terjadi pada tahun 660 M/40 H pada saat Umayah memproklamirkan diri menjadi khalifah di Iliyah (Palestina), setelah pihaknya dinyatakan oleh Majelis Tahkim sebagai pemenang, Pemerintahan Dinasti Umayah (41-132 H).
5. Salman Al-Farisi (wafat 32 H)
6. Abu Musa Al- Asy’ari (wafat 42/44/52 H)
7. ‘Abdulloh bin ‘Umar bin Khoththob (lahir 11 tahun sebelum Hijroh, dan wafat 74/73 H)
8. ‘Amru bin Ummi Maktum
9. Abu Dzar Jundab bin Junadah Al-Ghifari (Umur 32 tahun)
10. Thufail bin ‘Amru bin Thorif bin Ad-Dausi (Syahid di dalam perang Yarmuk)
11. Handholah bin Abi ‘Amir (wafat 3 H saat perang Uhud)
12. Hudzaifah Ibnul Yaman (wafat di Madain beberapa bulan setelah wafatnya ‘Utsman)
13. Khubaib bin ‘Adi bin Malik
14. Al-Baro’ bin Malik (wafat 20 H saat penaklukan Tustar)
15. Tsabit bin Qois (wafat 3 saat perang Uhud)
16. Abu Darda’ (wafat 32 H)
17. ‘Amru bin Jamuh (wafat 3 H saat perang Uhud)
18. Abu Qotadah Al-Harits (wafat 54 H)
19. Jabir bin ‘Abdulloh (wafat 78 H)
20. Abu Dahdah Tsabit bin Dahdah (wafat 3 H saat perang Uhud)

Di antara Sahabat dari Kaum Muhajirin dan Anshor yang Ikut Perang Khondaq

1. Kholid bin Walid (wafat 21 H di Khimsho)
2. ‘Abdulloh bin ‘Amru bin ‘Ash (wafat 65 H atau saat umur 72 tahun)
3. Abu Jandal bin Suhail bin ‘Amru (wafat 18 H di Yordania)
4. Iyadh bin Ghonam bin Zuhair (wafat 20 H atau saat umur 60 tahun)
5. Safinah maula Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam (wafat 70 H)
6. ‘Abdulloh bin Mughoffal (wafat 60 H)
7. ‘Imron bin Hushoin bin ‘Ubaid (wafat 52 H)
8. Salamah bin Akwa’ (wafat 74 H)
9. Robi’ah bin Ka’ab Al-Aslami (wafat 63 H)
10. Abu Huroiroh (wafat 57 H)
11. Zaid bin Tsabit (lahir 11 tahun sebelum Hijroh dan wafat 45 H)
12. Anas bin Malik (lahir 9 tahun sebelum Hijroh dan wafat 92 H atau saat umur 99 tahun di Bashroh)
13. Abu Sa’id Al-Khudri (wafat 74 H)
14. Qois bin Sa’ad bin ‘Ubaidah (wafat pada akhir masa kekhilafahan/keamiran Mu’awiyah)   (661-680 M)
15. ‘Abdulloh bin Salam (wafat 43 H)

Di antara Sahabat yang Masuk Islam ketika Fathu Makkah

1. Hakim bin Hizam bin Khuwailid (wafat pada usia 120 tahun) bin Huzam
2. Syaibah bin ‘Utsman bin Abi Tholhah (wafat pada masa kekhilafahan Yazid bin Mu’awiyah)  (680-683 M)
3. ‘Ikrimah bin Abi Jahl atau ‘Amru bin Hisyam (wafat pada saat perang Yarmuk)
4. Suhail bin ‘Amru bin ‘Abdusy Syams (wafat 18 H dalam Ribath di Syam)
5. Abu Umamah Al-Bahili (81/86 H)
6. Lubaid bin Robi’ah bin Malik Asy-Syair (pada malam perdamaian antara Mu’awiyah dan Hasan)
7. Tamim bin Aus bin Khorijah Ad-Dari
8. Jarir bin ‘Abdulloh bin Jabir
9. Humamah (wafat di peperangan Asbahan pada masa kekholifahan ‘Umar bin Khoththob Rodhiyallohu ‘Anhu) Asbahan, di dunia saat ini tempat ini dikenal dengan kota Isfahan, terletak sekitar 340 km selatan Teheran. Kota ini ibu kota provinsi Isfahan dan kota terbesar ketiga di Iran (setelah Teheran dan Mashhad ). Anda bisa cek di Wikipedia
10. Hudair.

Sahabat yang Berumur Belia ketika Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam Wafat

1. ‘Abdulloh bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththolib (lahir 3 tahun sebelum Hijriyah dan wafat 68 H di Thoif)
2. Hasan bin ‘Ali bin Abi Tholib (lahir pertengahan Romadhon 3 H dan wafat pada Robi’ul Awwal 50H)
3. Husain bin ‘Ali bin Abi Tholib (lahir Sya’ban 4 H dan wafat Muharrom 61 H)
4. ‘Abdulloh bin Zubair bin Zubair bin ‘Awwam (wafat 17 Jumadil Ula 73 H)
5. Al-Miswar bin Makhromah bin Naufal (lahir 8 tahun sebelum Rosululloh wafat dan wafat 64 H)



SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS

BAB II
PEMBAHASAN

1.        Sejarah Perkembangan Hadits
Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.[1] Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahirnya di zaman Nabi SAW meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang memengaruhi hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadis dalam beberapa periode. Adapun para`ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadis. Ada yan membagi dalam tiga periode, lima periode, dan tujuh periode.[2]
M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi tujuh periode,[3] sejak periode Nabi SAW hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.

1.      Periode Pertama: Perkembangan Nadis pada Masa Rasulutlah SAW.
Periode ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam).[4] Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan AI-Quran untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam.
Para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. mennheri ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabiy
Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghapal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadis dalam amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.
2.      Periode Kedua: Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa' Ar-Rasyidin (11 H-40 H)
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.[5]
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis,dan  sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran.[6] Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni:
1.        Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hapal benar lafazh dari Nabi.
2.        Dengan maknanya saja; yakni mereka merivttayatkan maknanya karena tidak hapal lafazh asli dari Nabi SAW.[7]


3.      Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis).[8] Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.
Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi SAW diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikiari, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi ramai.
Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadis di berbagai daerah di seluruh negeri.
Adapun lembaga-lembaga hadis yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan,dan  pengembangan hadis terdapat di:
1.       Madinah,
2.       Mekah,
3.       Bashrah,
4.       Syam,
5.       Mesir,
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi'ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang ‘Ali, dan golongan Mu'awiyah, dan ketiga; golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).
 Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu dan   menyebarkannya kepada masyarakat.

4.        Periode Keempat: Perkembangan Hadis pada Abad II dan III Hijriah
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisandan  pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.[9]
Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H,[10] Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukandan  mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma'mar- Al-Laits, Al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn `Ades, seorang ahli fiqh, murid `Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh.[11]
Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits.[12] Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.
Pembukuan seluruh hadits yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadits pada masanya.
Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukulcan hadits atas anjuran Abu `Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.
            Berikut tempat dan nama-nama tokoh dalam pengumpulan hadits :
1.       Pengumpul pertama di kota Mekah, Ibnu Juraij (80-150 H)
2.       Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
3.       Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi' Ibrl Shabih (w. 160 H)
4.       Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.)
5.       Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i (w. 95 H)
6.       Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104-188 H)
7.       Pengumpul pertama diYaman, Ma'mar al-Azdy (95-153 H)
8.       Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
9.       Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
10.   Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa'ad (w. 175 H).[13]
Semua ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari ahli-ahli pada abad kedua Hijriah.

Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang rnasyhur di kalangan ahli hadis adalah:
1.       Al-Muwaththa', susurran Imam Malik (95 H-179 H);
2.       Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
3.       Al-jami', susunan Abdul Razzaq As-San'any (211 H)
4.       Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjaj (160 H)
5.       Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn 'Uyainah (198 H)
6.       Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H)
7.       Al-Mushannaf, susnan Al-Auza'i (150 H)
8.       Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
9.       Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy.
10.   A1-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
11.   Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
12.   Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i (204 H).
13.   Mukhtalif Al-Hadis, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i.[14]
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik,Yahya ibn Sa'id AI-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.[15]


5.        Feriode Kelima: Masa Men-tasbih-kan Hadis dan Penyusuran Kaidah-Kaidahnya
Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa' -Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadis, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadis.[16]
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan hadis.
Keadaan ini diubah oleh AI-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, `Asqalani,dan  Himsh.
Imam Bukhari membuat terebosan dengan mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.
Para ulama pada mulanya menerima hadits dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadis dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk rpengacaukan hadis, para ulama pun melakukan hal-hal berikut.
a.        Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan  lain-lain.
b.       Memisahkan hadis-hadis yang sahih dari hadis yang dha'if yakni dengan men-tashih-kan
U1ama hadits yang mula-mula menyaringdan  membedakan hadits-hadits yang sahih dari yang palsu dan  yang lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih, seorang imam hadis yang sangat termasyhur.
Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-jamius Shahil. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian, usaha A1-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Bukhari dan  Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang mengikuti jejak Bukhari dan  Muslim, di antaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi,dan  An-Nasa'i. Mereka menyusun kitab-kitab hadis yang dikenal dengan Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslirn, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi,dan  Sunan An-Nasa'i. Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.
Di samping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab induk itu menjadi sebuah, yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah.
Tokoh-tokoh hadis yang lahir dalam masa ini adalah:
1.       `Ali Ibnul Madany
2.       Abu Hatim Ar-Razy
3.       Muhammad Ibn Jarir Ath- Thabari
4.       Muhammad Ibn Sa'ad
5.       Ishaq Ibnu Rahawaih
6.       Ahmad.
7.       Al-Bukhari
8.       Muslim
9.       An-Nasa'i
10.   Abu Dawud
11.   At-Tirmidzi
12.   Ibnu Majah
13.   Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri.[17]

6.        Periode Keenam: Dari Abad IV hingga Tahun 656 H.
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa `Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-jami'.[18]
Ulama-ulama hadis yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiridan  pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat. Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari `Mutaakhirin'. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.
Pada periode ini muncul kitab-kitab sahih yang tidak terdapat dalam kitab sahih pada abad ketiga. Kitab-kitab itu antara lain:
1.       Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah
2.       At-Taqsim wa Anwa', susunan Ibnu Hibban
3.       Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim
4.       Ash-Shalih, susunan Abu `Awanah
5.       Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud
6.       Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Al-Maqdisy.[19]
Di antara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode ini adalah:
1.      Mengumpulkan Hadis Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab. Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis Al-Bukhari dan Muslim adalah Kitab Al Fami' Bain Ash-Shahihani oleh Ismail Ibn Ahmad yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Furat (414 H), Muhammad Ibn Nashr Al-Humaidy (488 H); Al-Baghawi oleh Muhammad Ibn Abdul Haq Al-Asybily (582 H).
2.      Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab enam.
Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis kitab enam, adalah Tajridu As-Shihah oleh Razin Mu'awiyah, Al-Fami' oleh Abdul Haqq Ibn Abdul Ar-Rahman Asy-Asybily, yang terkenal dengan nama Ibnul Kharrat (582 H).
3.      Mengumpukan hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab.
Di antara kitab-kitab yang mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai kitab adalah: (1) Mashabih As-Sunnah oleh Al-Imam Husain Ibn Mas'ud Al-Baghawi (516 H); (2) Yami'ul Masanid wal Alqab, oleh Abdur Rahman ibn Ali Al-Jauzy (597 H); (3) Bakrul Asanid, oleh Al-Hafidh Al-Hasan Ibn Ahmad Al-Samarqandy (49I H).
4.      Mengumpulan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab ‘Atkraf.

7.      Periode Ketujuh (656 H-Sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu'tasim (w. 656 H.) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al Jami' wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.[20]
Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab fami' yang umum':
Pada .periode ini disusun Kitab-kitab Zawa'id, yaitu usaha mengumpulkan hadis yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya Kitab Zawa'id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa'id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab zawa'id yang lain.
Di samping itu, para ulama hadis pada periode ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Fami' Al-Masanid wa As-Sunan Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan fami'ul  fawami susunan Al-Hafidz As-Suyuthi (911 H).
Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hadis-hadis yang tidak disebut perawinya dan pen-takhrij-nya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan hadis-hadis itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab yang tertentu, di antaranya Takhrij Hadis TafsirAl-Kasysyaf karangan Al-Zailai'i (762), Al-Kafi Asy-Syafi fi Tahrij Ahadits Al-Kasyasyaf oleh Ibnu Hajar Al-`Asqalani, dan masih banyak lagi kitab takhrij lain.
Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-ulama hadis yang menyusun kitab-kitab Athraf, di antaranya Ithaf Al-Maharah bi Athraf Al- Asyrah oleh Ibnu Hajar Al-`Astqalani, Athraf Al-Musnad Al-Mu'tali bi Athraf Al-Musnad Al-Hanbali oleh Ibnu Hajar, dan masih banyak lagi kitab Athraf yang lainnya.
Tokoh-tokoh hadis yang terkenal pada masa ini adalah: (1) Adz-Dzahaby (748 H), (2) Ibnu Sayyidinnas (734 H), (3) Ibnu Daqiq Al-`Ied, (4) Muglathai (862 H), (5) Al-Asqalany (852 H), (6) Ad¬Dimyaty (705 H), (7) Al-`Ainy (855 H), (8) As-Suyuthi (911 H), (9) Az-Zarkasy (794 H), (10) Al-Mizzy (742 H), (11) Al-`Alay (761 H), (12) Ibnu Katsir (774 H), (13) Az-Zaily (762 H), (14) Ibnu Rajab (795 H), (15) Ibnu Mulaqqin (804 H), (16) Al-Bulqiny (805 H), (17) Al-`Iraqy (w. 806 H), (18) Al-Haitsamy (807 H), dan (19) Abu Zurah (826 H).[21]

A.    Fase Pengumpulan dan Penulisan Hadits
1.      Pengumpulan Hadis
Pada abad pertama Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW., Khulafaar Rasyidin,dan  sebagian besar masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindahdan  disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah Umar bin Khaththab (w. 23 H/644 M). Namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin.Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama Hijriah, yakni tahun 99 Hijriah, datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits. Umar bin Abdul Azis terkenal sebagai seorang khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal adil dan wara' sehingga dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan  sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadits dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan  dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Tergeraklah hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm untuk membukukan hadis-hadis Nabi dari para penghapal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm, yaitu, "Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan menin,;galnya ulama, dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW., dan hercdaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orzng yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan."
 Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian, Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut sehingga menjadi salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.
Setelah generasi Az-Zuhri, pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H.), Ar-Rabi' bin Shabih (w. 160 H), dan masih banyak lagi ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempurna. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H, dilakukan upaya penyempunaan. Sejak saat itu, tampak gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuandan  penulisan hadis-hadis Rasul SAW Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang dan sampai kepada kita, antara lain Al-Muwatha' oleh Imam Malikdan  Al-Musnad oleh Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H). Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh imam-imam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain.
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam, yaitu Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan An-Nasal, dan At-Tirmizi. Tidak sedikit pada masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar pada Kutubus Sittah tersebut beserta kitab Muwatha' dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya.[22]

2.      Penulisan Hadis
Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan membaca dan menulis. Mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menulisdan  membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat sejumlah orang yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orangYahudi juga mengajari anak-anak di Madinah untuk menulis Arab. Kota Mekah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang yang mampu membaca. Sebagaimana dinyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan menulis di kota Mekah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksud bahwa orang Arab adalah bangsa yang ummi.[23]
Banyak akhbar yang menunjukkan bahwa para penulis lebih banyak terdapat di Mekah daripada di Madinah. Hal ini dibuktikan dengan adanya izin Rasulullah kepada para tawanan dalam Perang Badar dari Mekah yang mampu menulis untuk mengajarkan menuiis dan membaca kepada 10 anak Madinah sebagai tebusan diri mereka.
Pada masa Nabi, tulis-menulis sudah tersebar luas. Apalagi Al-Quran menganjurkan untuk belajardan  membaca. Rasulullah pun menga-lgkat para penulis wahyu hingga jumlahnya mencapai 40 orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitab At-Taratib Al-Idariyyah. Baladzuri dalam kitab Futuhul Buldan menyebutkan sejumlah penulis wanita, di antaranya Ummul Mu'minin Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa' binti Abdullah Al¬Qurasyiyah, `Aisyah binti Sa'ad, dan Karimah binti AI-Miqdad.
Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah setelah Perang Badar. Nabi menyuruh Abdullah bin Sa'id bin ‘Ash agar mengajar menulis di Madiah, sebagaimana disebutkan Ibnu Abdil Barr dalam Al-Isti'ab. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli `Abdullah bin Sa'id bin Al-'Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama `Abdullah,dan  menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.[24]
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam sependapat bahwa Al-Quran Al-Karim telah memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan  para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabat untuk menghapalkan Al-Quran dan  menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, batu, dan  sebagainya.
Oleh karena itu, ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Seluruh ayat suci Al-Quran pun telah lengkap ditulis, tetapi belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi karena tidak diperintahkan oleh Rasul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadits yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW.


DAFTAR PUSTAKA

Aglayanah, Al-Makki, Metode Pengajaran Hadits: Pada Tiga Abad Pertama, terj. Amir Hamzah Fachruddin. Jakarta : Granada Nadia. 1995
Ahmad, Muhammad, dkk. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. 2005
Al-Baghdadi, Abd. Al- Qahir. Al-Farq baina Al-Firaq. Editor M.S. Kailani. Beirut : Dar Al-Ma’arifah. 1983
Al-Hadi, Abu Muhammad Al-Mahdi Ibn Abd Al-Qadir. tt. Thariqu Takhriq Hadits Rasulullah ‘Alaihi Wasallam. Darul Ikhtisam.
IsmaiI,Syuhudi. Kaidah Kesahihan sanad hadits.Jakarta: Bulan Bintang.1995
Shiddiqiey,TM.Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.Semarang: Pustaka Rizki Putra.2001
Sulaiman,Hasan. Abbas, Alwi, Terjemah lbanatul Ahkam Syarh Bulughuf Maram Jilid I.Surabaya: Mutiara iimu.1995
Zuhri, Muhammad. Hadits Nabi, Tela'ah Historisdan  Metodologi.Yogyakarta: Tiara Wacana.2003



[1]Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung; Mimbar Pustaka. 2005, hlm. 29.
[2]Ibid. hlm. 30
[3]M. Hasbi Ash-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1987. Hlm. 46.
[4]Barmawie Umarie. Status Hadits sebagai Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti Sjamsijah. 1965
[5]Soetari. Op.cit. hlm. 41-46. Lihat juga Ash-Shiddieqy. Op. Cit. 59-69. Barmawie Umarie. Op. Cit. hlm. 17-18
[6]Ash- Shiddieqy. Op. cit. hlm. 62
[7]Ibid. hlm. 63
[8]Ibid. hlm. 47-54. Lihat juga Ash-Shiddieqy. Op. Cit. hlm. 69-78
[9]Ibid. hlm. 78-88
[10]Soetari. Op.cit. hlm. 54
[11]Ketujuh Fuqaha Madinah adalah AI-Qasim, `Urwah Ibn Zubair, Abu Bakr Ibn Abdir Rahman, Sa'id Ibn Musavyab, Abdillah Ibn Abdullah Ibn `Utbah Ibn Mas'ud, Kharijah Ibn Zaid IbnTsabit, dan Sulaiman IbnYassar. LihatAsh-Shidieqy. op.cit. hlm. 79
[12]Az-Zuhri menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Sahel ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud Ibn al-Rabi’, Said Ibn Musaiyab, dan Abu Umamah ibn Sahel
[13]Ibid. hlm. 8
[14]Ibid. hlm. 83
[15]Ibid. hlm. 88
[16]Ibid. hlm. 89-104
[17]Ibid. hlm. 101-102
[18]Ibid. hlm. 103
[19]Ash-Shiddieqy. op.cit. hlm. 115-116
[20]Umarie. op. cit. hlm. 21; Lihat Ash-Shidieqy. op. cit. hlm. 126-134
[21]Ibid. hlm. 132
[22]Muhammad Ahmad, dkk. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. 2005. hlm. 29-31
[23]Al-Qaththan. Mabahits fi `Ulum Al-Hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005
[24]Ibid. hlm. 47